SELAMAT DATANG DI BLOG BATU MULIA

Kamis, 11 Maret 2010

Wanita Timur

Sejarah Wanita Timur; Perspektif Budaya dan Agama

Tidak hanya peradaban tertua yang dilahirkan Mesir, namun seiring dengan lajunya berbagai peradaban yang singgah, kota ini pun turut melahirkan aroma feminisme dengan usia hampir seratus tahun. Berarti selama beberapa tahun yang lalu sebenarnya Mesir sudah mengenal peranan dan partisipasi perempuan dalam lingkup domestic (rumah tangga) dan public. Berbagai gerakan tersebut telah berhasil memunculkan kesadaran dari terkungkungnya perempuan Arab, yang dahulunya terikat dengan aturan produk budaya 'harem'.

Sejatinya konsep harem dalam perspektif Fatimah Mernissi tercakup dua hal, yang pertama berbentuk imperial (kerajaan), dan kedua; domestic (tingkat biasa). Harem imperial ini telah lenyap oleh Perang Dunia I ketika kerajaan Otoman runtuh. Factor lain yang menunjang adalah masuknya budaya sekulerisasi dan globalisasi yang dibawa kaum urban Eropa. Kuatnya pengaruh budaya asing tersebut sangat berarti dalam perubahan kultur harem yang sudah lama mengakar di Arab, khususnya Mesir.



Sedangkan harem model domestic merupakan kawasan tertutup atau rumah bertembok anggun (bukan istana) yang didiami oleh sebuah keluarga besar dengan maksud mencegah para perempuannya untuk berinteraksi dengan dunia luar. Dalam harem domestic inilah Fatimah dibesarkan, sekaligus mengakui bahwa pengekangan dan penindasan telah tumbuh subur sejak dalam dunia kecilnya (baca=kanak-kanak). Meskipun harem imperial banyak dipraktekkan oleh Arab Islam klasik, namun kultur tersebut juga merupakan hasil akulturasi budaya dari masyarakat Byzantium, Kristen Suriah, Mesopotamia, Persia dan masyarakat Islam kawasan mediterania.

Sangat kontradiktif memang, di satu sisi masyarakat Arab ingin menggemborkan paradigma kebebasan perempuan dalam interaksi social dan pendidikan oleh Muhammad Abduh dan Qasim Amin, namun di lain hal sejarah mengkisahkan tradisi Arab yang tidak ramah terhadap perempuan. Sebuah catatan tua menuturkan ketika Abbasiyah berekspansi dan berhasil menaklukkan beberapa kawasan, istana kerajaan mulai diramaikan beratus-ratus jawari (budak), yang membawa budaya dan eksotisme dari masing-masing daerahnya. Harun al-Rasyid, khalifah dinasti ini dikatakan memiliki seribu jawari. Harem-harem itu menjadi tempat kemewahan dan kecantikan dari wanita di seluruh dunia. Sebenarnya pada masa awal dinasti Abbasiyah, kaum wanita dapat menikmati kebebasan yang sama dengan kaum wanita pada dinasti Umayyah, namun menjelang akhir abad ke-10, pada Dinasti Buwayhi, sistem pemingitan dan pemisahan yang ketat sudah menjadi fenomena umum. Pada masa ini juga degradasi moralitas seksual dan praktik perseliran serta hidup berfoya-foya dalam suatu kemewahaan merupakan sebuah tradisi. Posisi perempuan sangatlah hina, dan menukik tajam seperti yang disebutkan dalam kisah seribu satu malam.

Telah menjadi tradisi bagi para gubernur dan jenderal untuk mengirim hadiah, termasuk didalamnya para gadis yang direkrut secara suka rela atau paksa dari penduduk daerah jajahan. Menurut hukum, seorang muslim tidak harus menikahi budaknya. Bahkan sang khalifah boleh melakukan hubungan seksual dan mempunyai anak-anak dengannya tanpa menikah, dan ini sepenuhnya sah. Yang mengejutkan dari teks semacam ini adalah bahwa negeri-negeri Muslim, yang Nabi dan al-Qur`annya mengajarkan untuk menghapus perbudakan, ternyata justru menjadi pendukung dan pembelanya. Maka bisa dipastikan, bahwa harem tetaplah sebuah produk institusi budaya patriarkhi yang menindas perempuan. Sekalipun, harem model domestik, akan tetap ada seiring dengan masih hidupnya "kepercayaan teologis" yang berakar pada faktor kultural untuk menjaga sekaligus memudahkan proses pemantauan istri dan anak-anak perempuan dari jangkauan luar.

Yang sangat menarik dalam literatur sejarah adalah, ternyata banyak di antara perempuan Arab terdahulu bergelar sulthonah atau ratu, yang banyak memberikan kemajuan-kemajuan berarti dalam mengurusi permasalahan negara dari segi sosial, politik, dan ekonomi serta merencanakan strategi peperangan. Di antaranya yang termasyhur adalah Sulthonah Radhiyyah, yang memegang kekuasaan di Delhi pada tahun 634 H./ 1236 M. Tidak jauh dari Punjab, yang merupakan fief (tanah yang dikuasai dari seorang tuan tanah feodal) Nawaz Syarif, yang kemudian menjadi Perdana Menteri Pakistan. Ratu lain yang menyandang gelar Sulthonah adalah Syajarat al-Durr, seorang penguasa Mesir, yang meraih kekuasaan di Kairo pada 648 H./ 1250 M. sebagaimana pemimpin militer lainnya, melalui keunggulan strateginya. Dia memberikan kemenangan bagi kaum Muslim yang diingat baik oleh bangsa Prancis, karena dia mengalahkan pasukan mereka dalam Perang Salib dan menangkap raja mereka, Louis IX.

Khaizuran, ibu dari khalifah Harun al- Rasyid juga merupakan wanita hebat dinasti Abbasiah, meskipun telah menodai kultur harem kerajaan karena menyentuh kawasan publik. Dia mengatur, memimpin dan berkuasa dibawah tiga kekhalifahan, yaitu al- Mahdi (suaminya), al- Hadi dan Harun al- Rasyid. Para sejarawan pun mengakui atas kelihaian Khaizuran dalam membuat kebijakan politik. Pada masa ini pula Islam berada di puncak sebagai imperium agama dan militer. Karena perannya, imperium ini terus berekspansi dan menaklukkan bangsa-bangsa lain. Nah, cerita semacam inilah yang tidak patut dilupakan, bahwa dulunya, seorang wanita juga dapat berjaya di wilayah publik.

Di Mesir, dampak pembaharuan yang diusung Abduh rupanya telah melahirkan suatu cabang sekuler modernisme, terma inilah yang menjadi wacana feminis Arab pada periode selanjutnya. Jika ditilik ulang, concern yang dimaksud Abduh dan Qasim Amin adalah seputar pendidikan dan interaksi sosial kemasyarakatan bagi perempuan. Karena hal tersebut diyakini sebagai suatu hak pemberian Tuhan. Perjuangan kembali diteruskan oleh Huda Sya'rawi pada tahun tahun 1923, dia termasuk salah satu pendiri Persatuan Feminis Mesir (Feminist Union in Egypt) untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, serta ikut andil dalam usaha reformasi undang-undang yang berkaitan dengan pernikahan dan perceraian. Dia juga menyerukan hak suara bagi perempuan yang pada akhirnya dapat dirasakan mulai tahun 1956. Beberapa sekolahan bagi perempuan mulai didirikan, dan pada tahun 1928 perempuan Mesir mendapatkan kesempatan untuk meneruskan studi di perguruan tinggi. Nama lain yang sangat berpengaruh adalah Nabawiyah Musa, dia lahir di Zagazig 1886. Selain sebagai wanita yang berpendidikan, dia juga seorang pendidik. Dan juga penulis produktif di berbagai surat kabar kenamaan Mesir. Rezim sosialis Gamal Abdul Nasser juga turut memberikan dampak naiknya tingkat pendidikan perempuan secara dramatis, yaitu dengan kebijakannya yang membebaskan pendidikan bagi seluruh warga.

Jika dilakukan komparasi antara Barat dan Timur, maka kesimpulan yang ada adalah, bahwa sikap feminis Barat terlihat lebih angkuh dan radikal dibandingkan perjuangan feminis Timur. Bisa dikarenakan tarik ulur gerak perempuan tidak begitu saja lepas dari norma-norma agama, korelasi yang dibangun antara keduanya dapat menimbulkan kesalahan persepsi apabila tidak diteliti dan dikaji ulang. Tawaran Mernissi dalam hal ini adalah mengkaji ulang ayat-ayat teologis tersebut, serta menelusuri jejak sanad, riwayat dan melakukan kajian semantik. Sikap inilah yang seharusnya diambil sebelum mengklaim pemikiran seseorang, karena betapapun itu merupakan hasil pemikiran seorang tokoh yang perlu diapresiasi dengan pisau analisa yang steril terbebas dari karat-karat ideologi dan kepentingan kelompok.

Bahwa upaya fifty-fifty (pria-wanita) yang diusung feminis Barat sejatinya merupakan sebuah gagasan yang utopis. Dari segi nature (alami) maupun nuture (konstruksi masyarakat) tujuan tersebut tidak akan menuai hasil meskipun sedikit memaksakan. Karena Barat dalam hal ini selalu memandang wanita harus dipersamakan dengan pria dalam segala hal, tanpa ada perbedaan. Namun, ketika diskursus ini di kaji dengan menggunakan psiko-analisis maka akan ditemukan semacam kontradiksi. Bahwa propaganda yang diusung kaum feminis secara tidak langsung telah menjajah wanita lain, karena dituntut untuk go publik. Padahal merupakan sebuah fakta ketika ternyata ada sebagian perempuan yang merasa diperlakukan adil disaat dia di sibukkan dengan urusan rumah tangga, anak dan suami. Hal semacam inilah yang biasa disebut dengan 'contradictio interminis'. Sebuah konsep yang menginginkan kebebasan individu, justru dalam prakteknya dapat membuat individi tidak bebas dan tertindas. Maka, kesetaraan yang adil dan sesuai dengan konteks masing-masing individu itulah yang lebih urgent.

SALON KECANTIKAN

WANITA BERHIAS DI SALON KECANTIKAN
Dr. Yusuf Al-Qardhawi

PERTANYAAN

Apakah boleh wanita Muslimat menghias (mempercantik) dirinya
di tempat-tempat tertentu, misalnya pada saat ini, yang
dinamakan salon kecantikan, dengan alasan keadaan masa kini
bagi wanita sangat penting untuk tampil dengan perlengkapan
dan cara-cara berhias seperti itu yang bersifat modren?

Selain itu, bolehkah wanita memakai rambut palsu atau tutup
kepala yang dibuat khusus untuk itu?

JAWAB

Agama Islam menentang kehidupan yang bersifat kesengsaraan
dan menyiksa diri, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh
sebagian dari pemeluk agama lain dan aliran tertentu. Agama
Islam pun menganjurkan bagi ummatnya untuk selalu tampak
indah dengan cara sederhana dan layak, yang tidak
berlebih-lebihan. Bahkan Islam menganjurkan di saat hendak
mengerjakan ibadat, supaya berhias diri disamping menjaga
kebersihan dan kesucian tempat maupun pakaian.

Allah swt. berfirman:

"... pakailah pakaianmu yang indah pada setiap
(memasuki) masjid ..." (Q.s.Al-A'raaf: 31)

Bila Islam sudah menetapkan hal-hal yang indah, baik bagi
laki-laki maupun wanita, maka terhadap wanita, Islam lebih
memberi perhatian dan kelonggaran, karena fitrahnya,
sebagaimana dibolehkannya memakai kain sutera dan perhiasan
emas, dimana hal itu diharamkan bagi kaum laki-laki.

Adapun hal-hal yang dianggap oleh manusia baik, tetapi
membawa kerusakan dan perubahan pada tubuhnya, dari yang
telah diciptakan oleh Allah swt, dimana perubahan itu tidak
layak bagi fitrah manusia, tentu hal itu pengaruh dari
perbuatan setan yang hendak memperdayakan. Oleh karena itu,
perbuatan tersebut dilarang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad
saw.:

"Allah melaknati pembuatan tatto, yaitu menusukkan
jarum ke kulit dengan warna yang berupa tulisan,
gambar bunga, simbol-simbol dan sebagainya;
mempertajam gigi, memendekkan atau menyambung
rambut dengan rambut orang lain, (yang bersifat
palsu, menipu dan sebagainya)." (Hadis shahih).

Sebagaimana riwayat Said bin Musayyab, salah seorang sahabat
Nabi saw. ketika Muawiyah berada di Madinah setelah beliau
berpidato, tiba-tiba mengeluarkan segenggam rambut dan
mengatakan, "Inilah rambut yang dinamakan Nabi saw. azzur
yang artinya atwashilah (penyambung), yang dipakai oleh
wanita untuk menyambung rambutnya, hal itulah yang dilarang
oleh Rasulullah saw. dan tentu hal itu adalah perbuatan
orang-orang Yahudi. Bagaimana dengan Anda, wahai para ulama,
apakah kalian tidak melarang hal itu? Padahal aku telah
mendengar sabda Nabi saw. yang artinya, 'Sesungguhnya
terbinasanya orang-orang Israel itu karena para wanitanya
memakai itu (rambut palsu) terus-menerus'." (H.r. Bukhari).

Nabi saw. menamakan perbuatan itu sebagai suatu bentuk
kepalsuan, supaya tampak hikmah sebab dilarangnya hal itu
bagi kaum wanita, dan karena hal itu juga merupakan sebagian
dari tipu muslihat.

Bagi wanita yang menghias rambut atau lainnya di salon-salon
kecantikan, sedang yang menanganinya (karyawannya) adalah
kaum laki-laki. Hal itu jelas dilarang, karena bukan saja
bertemu dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tetapi lebih
dari itu, sudah pasti itu haram, walaupun dilakukan di rumah
sendiri.

Bagi wanita Muslimat yang tujuannya taat kepada agama dan
Tuhannya, sebaiknya berhias diri di rumahnya sendiri untuk
suaminya, bukan di luar rumah atau di tengah jalan untuk
orang lain. Yang demikian itu adalah tingkah laku kaum
Yahudi yang menginginkan cara-cara moderen dan sebagainya.

---------------------------------------------------
Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Cetakan Kedua, 1996
Penerbit Risalah Gusti
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177

MEANING OF ISLAM AND MUSLIM

MEANING OF ISLAM AND MUSLIM

--------------------------------------------------------------
The Quran

This day [the day of the Prophet's 'Farewell Address' on
which the last verse of the Quran was revealed] have I
made perfect for you your religion, and have completed
My favour towards you, and am satisfied with Islam for
you as your religion. -- V:3

Do not dispute with the people of the Book [Jews,
Christians, Sabeans], unless it be in a way that is
better, save with such of them as do wrong; and say: We
believe in that which has been revealed unto us, and
revealed unto you; our God and your God is One, and unto
Him we surrender. -- XXIX:46

Muhammad Asad, The Message of the Quran

. . . the Quran cannot be correctly understood if we read it
merely in the light of later ideological developments, losing
sight of its original purport and the meaning which it had - and
was intended to have - for the people who first heard it from the
lips of the Prophet himself. For instance when his contemporaries
heard the words islam and muslim, they understood them as denoting
man's "self-surrender to God" and "one who surrenders himself to
God," without limiting himself to any specific community or
denomination - e.g., in 3:67, where Abraham is spoken of as having
"surrendered himself unto God" (kana musliman), or in 3:52 where
the disciples of Jesus say, "Bear thou witness that we have
surrendered ourselves unto God (bianna musliman)." In Arabic, this
original meaning has remained unimpaired, and no Arab scholar has
ever become oblivious of the wide connotation of these terms. Not
so, however, the non-Arab of our day, believer and non-believer
alike: to him, islam and muslim usually bear a restricted,
historically circumscribed significance, and apply exclusively to
the followers of the Prophet Muhammad. -- Foreword, p. vi

Seyyed Hossein Nasr, Science & Civilization

In its universal sense, Islam may be said to have three levels of
meaning. All beings in the universe, to begin with, are Muslim,
i.e. "surrendered to the Divine Will." . . . Secondly, all men who
accept with their will the sacred law of the revelation are Muslim
in that they surrender their will to that law. . .

Finally, we have the level of pure knowledge and understanding. It
is that of the contemplative, the gnostic . . . The gnostic is
Muslim in that his whole being is surrendered to God; he has no
separate individual existence of his own. -- p.23

HUBUNGAN SUAMI ISTRI

HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI
Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Pertanyaan:

Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu
untuk menanyakan apa saja yang berkaitan dengan hukum
agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi.

Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan
mengenai hubungan seksual antara suami-istri yang
berdasarkan agama, yaitu jika si istri menolak ajakan
suaminya dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak
berdasar. Apakah ada penetapan dan batas-batas tertentu
mengenai hal ini, serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang
berdasarkan syariat Islam untuMk mengatur hubungan kedua
pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?

Jawab:

Benar, kita tidak boleh bersikap malu dalam memahami ilmu
agama, untuk menanyakan sesuatu hal. Aisyah r.a. telah
memuji wanita Anshar, bahwa mereka tidak dihalangi sifat
malu untuk menanyakan ilmu agama. Walaupun dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat,
dan lain-lainnya, di hadapan umum ketika di masjid, yang
biasanya dihadiri oleh orang banyak dan di saat para ulama
mengajarkan masalah-masalah wudhu, najasah (macam-macam
najis), mandi janabat, dan sebagainya.

Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an
dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang
bagi para ulama tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara
menerangkan secara jelas mengenai hukum-hukum Allah dan
Sunnah Nabi saw. dengan cara yang tidak mengurangi
kehormatan agama, kehebatan masjid dan kewibawaan para
ulama.

Hal itu sesuai dengan apa yang dihimbau oleh ahli-ahli
pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini, agar
diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi
atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.

Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-istri itu
pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya
memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
kesalahan dan kerusakan terhadap kelangsungan hubungan
suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan
kehancuran bagi kehidupan keluarganya.

Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi dari
kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang telah
diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah
tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai
akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal
pun yang diabaikan (dilalaikan).

1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan
dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan
ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena
itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan
memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak
untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi
saw, yaitu menikah.

Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut:

"Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih
khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam,
tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka,
barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia
bukan termasuk golonganku."

2. Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan
setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara
menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan
mengerjakannya dianggap suatu ibadat. Sebagaimana keterangan
Nabi saw.:

"Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat
bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh
dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw.
menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang
dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakuknn
pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya
menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak
menghitung hal-hal yang baik."

Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang
lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat
menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan
dapat menahan diri.

Karenanya diharuskan bagi wanita menerima dan menaati
panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:

"Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka
supaya segera datang, walaupun dia sedang masak." (H.r.
Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).

Dianjurkan oleh Nabi saw. supaya si istri jangan sampai
menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang dapat
menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke
jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.

Nabi saw. telah bersabda:

"Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak,
kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan
melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih).

Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan
alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan,
atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu,
menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt. adalah
Tuhan bagi hamba-hambaNya Yang Maha Pemberi Rezeki dan
Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya
hambaNya juga menerima uzur tersebut.

Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang
berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih
diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala
puasa.

Nabi saw. bersabda:

"Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya
ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).

Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam
Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara
dalam segala hal. Nabi saw. menyatakan kepada laki-laki
(suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.

Beliau bersabda:

"Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan hagi keluargamu
(istrimu) ada hak."

Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab
Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata:

"Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir-
rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan:

"Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari
apa yang Engkau berikan kepadaku'."

Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak,
maka tidak akan diganggu oleh setan."

Al-Ghazali berkata, "Dalam suasana ini (akan bersetubuh)
hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan
dan sebagainya; dan menutup diri mereka dengan selimut,
jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus
memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua
pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."

Berkata Al-Imam Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul 'Ibaad, mengenai sunnah
Nabi saw. dan keterangannya dalam cara bersetubuh.
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:

Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:

1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah
yang ditetapkan menurut takdir Allah.

2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan
jika ditahan terus.

3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana
kelak di surga.

Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu: Menundukkan
pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak
berbuat serong bagi kedua pasangan. Nabi saw. telah
menyatakan:

"Yang aku cintai di antara duniamu adalah wanita dan
wewangian."

Selanjutnya Nabi saw. bersabda:

"Wahai para pemuda! Barangsiapa yang mampu melaksanakan
pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu
menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."

Kemudian Ibnul Qayyim berkata, "Sebaiknya sebelum
bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya,
sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya."

Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari
jalan baik tidak bersifat konservatif, bahkan tidak kalah
kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa
kini.

Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya
Islam telah mengenal hubungan seksual diantara kedua
pasangan, suami istri, yang telah diterangkan dalam
Al-Qur'anul Karim pada Surat Al-Baqarah, yang ada
hubungannya dengan peraturan keluarga.

Firman Allah swt.:

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu,
dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu,
Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga
jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf
dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).

Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai
hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan,
yaitu:

"Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).

Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu
adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang
menyucikan diri.

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu
dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. Dan
berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s.
Al-Baqarah: 222-223).

Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang
disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja.
Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.

Pada ayat di atas disebutkan:

"Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara
bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).

Tidak ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya
masalah dan undang-undang atau peraturannya dalam
Al-Qur'anul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan
di atas.

---------------------------------------------------
FATAWA QARDHAWI, Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Penerbit Risalah Gusti
Cetakan Kedua, 1996
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177