SELAMAT DATANG DI BLOG BATU MULIA

Senin, 29 Maret 2010

Sejarah Wanita Timur; Perspektif Budaya dan Agama

Rata Penuh

Tidak hanya peradaban tertua yang dilahirkan Mesir, namun seiring dengan lajunya berbagai peradaban yang singgah, kota ini pun turut melahirkan aroma feminisme dengan usia hampir seratus tahun. Berarti selama beberapa tahun yang lalu sebenarnya Mesir sudah mengenal peranan dan partisipasi perempuan dalam lingkup domestic (rumah tangga) dan public. Berbagai gerakan tersebut telah berhasil memunculkan kesadaran dari terkungkungnya perempuan Arab, yang dahulunya terikat dengan aturan produk budaya 'harem'.

Sejatinya konsep harem dalam perspektif Fatimah Mernissi tercakup dua hal, yang pertama berbentuk imperial (kerajaan), dan kedua; domestic (tingkat biasa). Harem imperial ini telah lenyap oleh Perang Dunia I ketika kerajaan Otoman runtuh. Factor lain yang menunjang adalah masuknya budaya sekulerisasi dan globalisasi yang dibawa kaum urban Eropa. Kuatnya pengaruh budaya asing tersebut sangat berarti dalam perubahan kultur harem yang sudah lama mengakar di Arab, khususnya Mesir.



Sedangkan harem model domestic merupakan kawasan tertutup atau rumah bertembok anggun (bukan istana) yang didiami oleh sebuah keluarga besar dengan maksud mencegah para perempuannya untuk berinteraksi dengan dunia luar. Dalam harem domestic inilah Fatimah dibesarkan, sekaligus mengakui bahwa pengekangan dan penindasan telah tumbuh subur sejak dalam dunia kecilnya (baca=kanak-kanak). Meskipun harem imperial banyak dipraktekkan oleh Arab Islam klasik, namun kultur tersebut juga merupakan hasil akulturasi budaya dari masyarakat Byzantium, Kristen Suriah, Mesopotamia, Persia dan masyarakat Islam kawasan mediterania.

Sangat kontradiktif memang, di satu sisi masyarakat Arab ingin menggemborkan paradigma kebebasan perempuan dalam interaksi social dan pendidikan oleh Muhammad Abduh dan Qasim Amin, namun di lain hal sejarah mengkisahkan tradisi Arab yang tidak ramah terhadap perempuan. Sebuah catatan tua menuturkan ketika Abbasiyah berekspansi dan berhasil menaklukkan beberapa kawasan, istana kerajaan mulai diramaikan beratus-ratus jawari (budak), yang membawa budaya dan eksotisme dari masing-masing daerahnya. Harun al-Rasyid, khalifah dinasti ini dikatakan memiliki seribu jawari. Harem-harem itu menjadi tempat kemewahan dan kecantikan dari wanita di seluruh dunia. Sebenarnya pada masa awal dinasti Abbasiyah, kaum wanita dapat menikmati kebebasan yang sama dengan kaum wanita pada dinasti Umayyah, namun menjelang akhir abad ke-10, pada Dinasti Buwayhi, sistem pemingitan dan pemisahan yang ketat sudah menjadi fenomena umum. Pada masa ini juga degradasi moralitas seksual dan praktik perseliran serta hidup berfoya-foya dalam suatu kemewahaan merupakan sebuah tradisi. Posisi perempuan sangatlah hina, dan menukik tajam seperti yang disebutkan dalam kisah seribu satu malam.

Telah menjadi tradisi bagi para gubernur dan jenderal untuk mengirim hadiah, termasuk didalamnya para gadis yang direkrut secara suka rela atau paksa dari penduduk daerah jajahan. Menurut hukum, seorang muslim tidak harus menikahi budaknya. Bahkan sang khalifah boleh melakukan hubungan seksual dan mempunyai anak-anak dengannya tanpa menikah, dan ini sepenuhnya sah. Yang mengejutkan dari teks semacam ini adalah bahwa negeri-negeri Muslim, yang Nabi dan al-Qur`annya mengajarkan untuk menghapus perbudakan, ternyata justru menjadi pendukung dan pembelanya. Maka bisa dipastikan, bahwa harem tetaplah sebuah produk institusi budaya patriarkhi yang menindas perempuan. Sekalipun, harem model domestik, akan tetap ada seiring dengan masih hidupnya "kepercayaan teologis" yang berakar pada faktor kultural untuk menjaga sekaligus memudahkan proses pemantauan istri dan anak-anak perempuan dari jangkauan luar.

Yang sangat menarik dalam literatur sejarah adalah, ternyata banyak di antara perempuan Arab terdahulu bergelar sulthonah atau ratu, yang banyak memberikan kemajuan-kemajuan berarti dalam mengurusi permasalahan negara dari segi sosial, politik, dan ekonomi serta merencanakan strategi peperangan. Di antaranya yang termasyhur adalah Sulthonah Radhiyyah, yang memegang kekuasaan di Delhi pada tahun 634 H./ 1236 M. Tidak jauh dari Punjab, yang merupakan fief (tanah yang dikuasai dari seorang tuan tanah feodal) Nawaz Syarif, yang kemudian menjadi Perdana Menteri Pakistan. Ratu lain yang menyandang gelar Sulthonah adalah Syajarat al-Durr, seorang penguasa Mesir, yang meraih kekuasaan di Kairo pada 648 H./ 1250 M. sebagaimana pemimpin militer lainnya, melalui keunggulan strateginya. Dia memberikan kemenangan bagi kaum Muslim yang diingat baik oleh bangsa Prancis, karena dia mengalahkan pasukan mereka dalam Perang Salib dan menangkap raja mereka, Louis IX.

Khaizuran, ibu dari khalifah Harun al- Rasyid juga merupakan wanita hebat dinasti Abbasiah, meskipun telah menodai kultur harem kerajaan karena menyentuh kawasan publik. Dia mengatur, memimpin dan berkuasa dibawah tiga kekhalifahan, yaitu al- Mahdi (suaminya), al- Hadi dan Harun al- Rasyid. Para sejarawan pun mengakui atas kelihaian Khaizuran dalam membuat kebijakan politik. Pada masa ini pula Islam berada di puncak sebagai imperium agama dan militer. Karena perannya, imperium ini terus berekspansi dan menaklukkan bangsa-bangsa lain. Nah, cerita semacam inilah yang tidak patut dilupakan, bahwa dulunya, seorang wanita juga dapat berjaya di wilayah publik.

Di Mesir, dampak pembaharuan yang diusung Abduh rupanya telah melahirkan suatu cabang sekuler modernisme, terma inilah yang menjadi wacana feminis Arab pada periode selanjutnya. Jika ditilik ulang, concern yang dimaksud Abduh dan Qasim Amin adalah seputar pendidikan dan interaksi sosial kemasyarakatan bagi perempuan. Karena hal tersebut diyakini sebagai suatu hak pemberian Tuhan. Perjuangan kembali diteruskan oleh Huda Sya'rawi pada tahun tahun 1923, dia termasuk salah satu pendiri Persatuan Feminis Mesir (Feminist Union in Egypt) untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, serta ikut andil dalam usaha reformasi undang-undang yang berkaitan dengan pernikahan dan perceraian. Dia juga menyerukan hak suara bagi perempuan yang pada akhirnya dapat dirasakan mulai tahun 1956. Beberapa sekolahan bagi perempuan mulai didirikan, dan pada tahun 1928 perempuan Mesir mendapatkan kesempatan untuk meneruskan studi di perguruan tinggi. Nama lain yang sangat berpengaruh adalah Nabawiyah Musa, dia lahir di Zagazig 1886. Selain sebagai wanita yang berpendidikan, dia juga seorang pendidik. Dan juga penulis produktif di berbagai surat kabar kenamaan Mesir. Rezim sosialis Gamal Abdul Nasser juga turut memberikan dampak naiknya tingkat pendidikan perempuan secara dramatis, yaitu dengan kebijakannya yang membebaskan pendidikan bagi seluruh warga.

Jika dilakukan komparasi antara Barat dan Timur, maka kesimpulan yang ada adalah, bahwa sikap feminis Barat terlihat lebih angkuh dan radikal dibandingkan perjuangan feminis Timur. Bisa dikarenakan tarik ulur gerak perempuan tidak begitu saja lepas dari norma-norma agama, korelasi yang dibangun antara keduanya dapat menimbulkan kesalahan persepsi apabila tidak diteliti dan dikaji ulang. Tawaran Mernissi dalam hal ini adalah mengkaji ulang ayat-ayat teologis tersebut, serta menelusuri jejak sanad, riwayat dan melakukan kajian semantik. Sikap inilah yang seharusnya diambil sebelum mengklaim pemikiran seseorang, karena betapapun itu merupakan hasil pemikiran seorang tokoh yang perlu diapresiasi dengan pisau analisa yang steril terbebas dari karat-karat ideologi dan kepentingan kelompok.

Bahwa upaya fifty-fifty (pria-wanita) yang diusung feminis Barat sejatinya merupakan sebuah gagasan yang utopis. Dari segi nature (alami) maupun nuture (konstruksi masyarakat) tujuan tersebut tidak akan menuai hasil meskipun sedikit memaksakan. Karena Barat dalam hal ini selalu memandang wanita harus dipersamakan dengan pria dalam segala hal, tanpa ada perbedaan. Namun, ketika diskursus ini di kaji dengan menggunakan psiko-analisis maka akan ditemukan semacam kontradiksi. Bahwa propaganda yang diusung kaum feminis secara tidak langsung telah menjajah wanita lain, karena dituntut untuk go publik. Padahal merupakan sebuah fakta ketika ternyata ada sebagian perempuan yang merasa diperlakukan adil disaat dia di sibukkan dengan urusan rumah tangga, anak dan suami. Hal semacam inilah yang biasa disebut dengan 'contradictio interminis'. Sebuah konsep yang menginginkan kebebasan individu, justru dalam prakteknya dapat membuat individi tidak bebas dan tertindas. Maka, kesetaraan yang adil dan sesuai dengan konteks masing-masing individu itulah yang lebih urgent.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar